|
Sega Jamblang merupakan makanan/kuliner khas
Wong Cirebon. Kata “Sega” pada nama kuliner ini berasal dari bahasa Cirebon
yang artinya “Nasi”, kata “Jamblang” sendiri terkait dengan sebuah nama desa
asal kuliner ini. Sedangkan kata “Wong” berasal dari bahasa Cirebon yang
artinya adalah “Orang”. Nasi Jamblang ini termasuk salah satu kuliner Nusantara
yang keberadaannya patut dilestarikan. Originalitas, cita rasa, dan ciri khas
tersendiri dimiliki oleh Sega atau Nasi Jamblang.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa
Sega Jamblang ini merupakan sejenis kuliner dengan nasi putih adem sebagai
makanan pokoknya yang terbungkus daun jati serta beberapa alternatif lauk pauk
atau makanan pendampingnya. Adapun lauk pauk yang dimaksud diantaranya adalah
1. Sambel Goreng dengan rasa pedas manis, terbuat dari cabai merah yang diiris
tipis memanjang dan kemudian diolah serta dikemas ke dalam daun pisang
berbentuk bundar kecil dengan garis tengah kurang lebih 5 cm; 2. Sate Telur
Puyuh dengan rasa gurih, merupakan telur puyuh matang bundar yang telah dikupas
cangkangnya, diolah dengan bumbu dan kemudian kurang lebih dalam lima butirnya
ditusuk dengan sebuah tusuk bambu seperti halnya tusuk sate ayam dan kambing;
3. Sate Kentang yang disajikan mirip seperti Sate Telur Puyuh; 4. Sate Udang;
5. Semur Telor; 6. Telur Dadar; 7. Tahu Goreng; 8. Sayur Tahu; 9. Tempe Goreng,
dengan kriuk hingga bagian dalam; 10. Blakutak, cumi-cumi yang telah dimasak
bersama tintanya berwarna hitam; 11. Ikan Asin; 12. Semur Ikan; 13. Perkedel
dan sebagainya.
Gambar : Warung Sega Jamblang
Sumber : Blog Blok Kliwon
|
Untuk mendapatkan Sega Jamblang bisa melalui
penjual keliling maupun di warung makan. Pedagang Sega Jamblang keliling
biasanya berjalan kaki dengan membawa tampah di atas kepala dan bakul di
pinggangnya. Dari pedagang keliling ini kita bisa membeli dengan cara dibungkus
untuk dibawa pulang atau menikmatinya dengan nongkrong di pinggir jalan. Tampah
atau dalam sebutan bahasa Sundanya adalah Nyiru, adalah salah satu peralatan
masak tradisional berupa anyaman terbuat dari bahan berupa bambu apus atau
bambu tali yang memiliki karakter lentur atau tidak mudah patah dan berserat
halus, berbentuk bundar cekung tipis, berdiameter antara 50-80 cm. Sedangkan bakul
atau dalam bahasa Sundanya adalah Boboko, adalah salah satu peralatan masak
tradisional berupa anyaman terbuat dari bahan berupa bambu apus atau bambu
tali, berbentuk lingkaran berdiameter 40-45 cm pada bagian atas atau mulutnya
sedangkan pada bagian badan hingga alas di bawahnya berbentuk segi empat dan
berukuran lebih kecil daripada bagian atasnya, biasanya digunakan untuk tempat
nasi.
Terkait asal
mula nama Nasi atau Sega Jamblang, kata Jamblang pada nama kuliner ini bukan
berasal dari sebuah pohon bernama Jamblang. Seperti yang sudah disebutkan di
atas, kata Jamblang pada nama kuliner ini terkait dengan sebuah desa bernama
Desa Jamblang yang secara administratif berada di Kecamatan Jamblang Kabupaten
Cirebon. Awalnya di desa tersebut banyak warga yang berprofesi menjajakan Sega jamblang,
oleh karena itu kemudian muncullah ide dari warga untuk memberikan nama
terhadap nasi berbungkus daun jati tersebut dengan sebutan Sega Jamblang.
Salah satu ciri khas atau keunikan yang sangat melekat pada Nasi atau Sega Jamblang ini yaitu pembungkus nasinya yang menggunakan daun jati atau bahasa Cirebonnya disebut dengan “Godong Jati”. Bagi seseorang yang baru atau pertama kali mencicipi ini, daun jati dengan tekstur kulit kasar dan kaku akan terasa agak sedikit aneh. Namun walaupun demikian, siapapun tidak perlu merasa khawatir untuk menikmati Sega Jamblang karena sebelumnya daun jati sudah terlebih dahulu dibersihkan. Sebenarnya tidak terlalu istimewa pada nasinya selain rasa pulen, seporsinya mirip dengan nasi kucing yang berukuran hanya segenggam tangan orang dewasa. Adapun alasan penggunaan daun jati pada nasi jamblang sebagai pembungkus nasi adalah karena sengaja nasinya dijual dan disajikan dalam kondisi adem setelah melalui proses pengipasan beberapa jam setelah matang dan selanjutnya dibungkus dengan daun jati. Bilamana nasi dibungkus dengan daun jati dalam kondisi hangat apalagi panas, maka akan membuat nasi berubah menjadi merah, dan itu yang tidak diinginkan oleh pembuat maupun pembelinya. Selain itu, daun jati bisa membuat nasi tetap terasa pulen dan tahan lama atau tidak akan cepat basi. Penggunaan daun jati sebagai pembungkus nasi berdasarkan pertimbangan bahwa pori-pori pada daun jati bisa membantu nasi akan tetap terjaga kualitasnya. Selain itu sebagai pembungkus nasi, daun jati bertekstur walaupun kulitnya kasar tetapi tidak mudah sobek, dan rusak.
Menikmati atau
mengkonsumsi Nasi atau Sega Jamblang tidaklah sempurna bila menggunakan
peralatan seperti sendok dan garpu. Dengan menggunakan tangan bersih saat
menikmatinya, maka kehadiran nuansa tradisionalnya akan terasa semakin laut.
Oleh karena itu, alangkah lebih nikmat bila dinikmati secara tradisional dengan
tangan bersih sebagai “sendok jari”, sedangkan alas nasi dan lauk pauknya tetap
dengan menggunakan daun jati.
Sebagai orang
yang beberapa kali menikmatinya, Nasi atau Sega Jamblang terasa begitu sangat
istimewa terlebih lagi dengan adanya sambal goreng merah dengan alas daun
pisang berbentuk bundar kecil yang begitu nikmat sehingga membuat “kecanduan”
untuk meminta ditambah terus dan tempe gorengnya yang “kriuk” luar dalam.
Untuk
menemukan pedagang Nasi atau Sega Jamblang di Kota Cirebon, Sahabat bisa
mendatangi rumah makan Nasi Jamblang “Mang Dul” di Jl. Cipto Mangunkusumo No. 3
Kota Cirebon. Rumah Makan ini merupakan salah satu rumah makan Nasi Jamblang
yang sudah terkenal di Kota Cirebon bahkan pernah disiarkan oleh salah satu
stasiun TV dengan hostnya Pak Bondan yang dikenal dengan ucapan “Maknyus”.
Lokasinya berada di seberang jalan sebelah barat Grage Mall dan tidak jauh dari
perempatan yang mempertemukan jalan Cipto, Wahidin, Kartini dan Tuparev. Di
rumah makan ini, Sahabat bisa menikmati makanan tersebut dengan duduk di kursi
dalam satu ruangan sekaligus menikmati pemandangan megahnya Mall tersebut. Tetapi
bila ingin menikmatinya di ruang terbuka pinggir jalan, tidak jauh dari
situ tepatnya di trotoar seberang jalan
sebelah selatan pintu masuk dan keluar Grage Mall juga berada jejeran warung
tenda Nasi Jamblang. Selain di lokasi itu, Nasi Jamblang juga bisa ditemukan di
sekitar jalan Pekalipan maupun di emperan jalan Siliwangi, namun di tempat ini makan
tanpa meja, duduk ditanah beralaskan sandal juga tanpa ruangan atau tenda.
Keberadaan pedagang Nasi Jamblang tidak hanya sebatas di daerah asal dan
sekitarnya saja, melainkan bisa di temukan di beberapa kota daerah lain bahkan
di wilayah ibu kota Jakarta. Menemukan pedagang Nasi Jamblang bisa karena
pernah mengalami di suatu tempat, tanpa sengaja ketemu di sepanjang perjalanan
atau mungkin karena petunjuk rekan secara langsung maupun melalui Mbah
“Google”.
Nasi atau Sega
Jamblang ini bukanlah makanan yang sengaja dikonsep mendadak untuk menjadi
makanan atau kuliner khas Cirebon. Keberadaan makanan ini terjadi melalui
sebuah sejarah. Dari Blog Disbudpar
Kabupaten Cirebon diketahui bahwa Nasi Jamblang ini asal usul
atau sejarahnya bermula pada tahun 1847, dimana pada saat itu, pemerintah
kolonial Belanda sedang membangun beberapa pabrik gula yang berada di wilayah Plumbon,
Gempol Palimanan, serta pabrik spirtus di Palimanan. Pembangunan beberapa
pabrik tersebut banyak menggunakan warga sebagai pekerja atau buruh yang
berasal dari Plumbon di Kabupaten Cirebon bagian barat, kawedanan Palimanan, dan
beberapa daerah sekitarnya. Pekerja atau buruh tersebut dipekerjakan sebagai buruh
lepas untuk perkebunan maupun di pabrik terutama di bagian administrasi, transportasi,
perbengkelan, dan keamanan pabrik. Para
buruh yang berasal dari jauh seperti Bobos, Lokong, Cidahu, Cimara, Ciniru, Cisaat,
dan Sindangjawa harus pergi sejak pagi- pagi buta dari rumahnya untuk berangkat
kerja. Sebelum memulai bekerja mereka membutuhkan sarapan namun tidak ditemukan
penjual nasi. Ketiadaan penjual nasi saat itu karena adanya anggapan bahwa
menjual nasi itu tidak diperbolehkan atau dengan istilah pamali. Anggapan
tersebut bisa dimaklumi pada saat itu selain karena orang tua kita saat itu banyak
menyimpan padi atau beras juga karena peredaran uang saat itu masih sedikit
sehingga mereka berpikir bahwa tidak apa-apa jika tidak menyimpan uang, namun
bisa sengsara jika tidak menyimpan padi atau beras karena adanya rasa takut
tidak bisa makan.
Melihat kondisi
begitu banyaknya buruh lepas pabrik yang mencari warung nasi, akhirnya seorang
warga bernama Ki Antara atau H. Abdulatif beserta istrinya bernama Ny. Pulung
atau Ny Tan Piauw Lun memberanikan diri untuk memberikan sedekah berupa beberapa
bungkus nasi kepada para buruh atau pekerja tersebut. Kedermawanan sepasang suami
istri tersebut menjadi berita yang menyebar dari mulut ke mulut sehingga
semakin banyak atau bertambah jumlah buruh yang datang kepadanya untuk meminta
sarapan pagi. Karena niat awal sepasang suami istri adalah bersedekah kepada
buruh, maka Ny. Pulung selalu menolak setiap pemberian uang dari para buruh tersebut
karena para buruh menyadari segala sesuatu yang dapat dibeli harus mengeluarkan
uang. Dengan melihat kondisi dilematis tersebut, para buruh bersepakat memberikan
imbalan kepada Ny. Pulung hanya ala kadarnya saja. Informasi lainnya dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat disebutkan bahwa pada
jaman Belanda awalnya Sega Jamblang yang merupakan makanan khas Kabupaten
Cirebon diperuntukkan bagi para pekerja paksa yang sedang membangun jalan raya
Daendels dari mulai Anyer menuju Pamanukan yang melewati wilayah Kabupaten
Cirebon yaitu tepatnya di Desa Kasugengan.
Ditulis oleh : Yus Machrus