Suasana Kampung Naga (Blog Shubhiyuda} |
Bagi Sahabat terutama yang berada
di kota besar dan ingin ber- wisata desa untuk mencicipi atau memiliki
pengalaman berada di sebuah kampung atau desa beberapa waktu, maka cobalah
mengunjungi Kampung Naga. Berada di kampung ini bukan sekedar berwisata desa
seperti pada umumnya di desa lain, tetapi menguji seberapa tahan hidup jauh
dari fasilitas berteknologi seperti yang akrab bukan hanya bagi warga kota
bahkan juga warga desa lainnya. Kampung Naga memiliki karakteristik sebagai
“Kampung Tempo Dulu”.
Secara administratif, Kampung
Naga berada di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Propinsi
Jawa Barat. Kampung Naga merupakan kampung adat yang sangat terkenal di Jawa
Barat dengan kearifan lokalnya karena warganya tetap mempertahankan atau
melestarikan Adat tradisi nenek moyangnya masih mereka pertahankan sehingga
kearifan lokal tidak lekang oleh kemajuan zaman. Kearifan lokal dengan budaya
serta keindahan alam sebuah kampung yang terjaga keasliannya sangat melekat
sebagai sebutan yang pantas terhadap kampung ini. Kata “Naga” pada nama kampung
hanya nama sebutan saja dan tidak ada hubungannya dengan hewan mitos naga.
Di kampung ini memiliki banyak
keunikan diantaranya yaitu posisinya di lembah di bawah antara pegunungan hijaun
dan hulu sungai Ciwulan, serta tata letak dan arsitektur khas pada setiap
rumah. Kampung ini bukanlah desa wisata sehingga tidak ditemukan adanya papan
nama Desa Wisata. Oleh karena itu sesaat sebelum memasuki kampung terlebih
dahulu harus melapor sebagai pemberitahuan berkunjung sekaligus mendapatkan
informasi sebagai petunjuk. Walaupun bukan merupakan desa wisata, keaslian
kampung ini masih sangat terjaga. Berada di kampung ini kita semestinya bisa
mendapatkan kedamaian sejenak, keramah tamahan, suasana asri rumah mereka,
tercium bau harum kayu bakar dari dapur mereka, pancuran air gunung untuk
mencuci tangan, suguhan teh hangat, serta beberapa pemandangan yang bisa
memanjakan mata dan mendamaikan perasaan seperti pemandangan yg hijau dengan
sebaran persawahan terasering milik warga, hutan yang terjaga, penuh tanaman
swa sembada, pohon di tepi pagar, jalan setapaknya rapih, dan air sungai yang
mengalir dengan kejernihan yang terjaga, sebaran kolam ikan mas milik warga,
deretan rumah beratap ijuk dengan jarak cukup rapat dan tak jarang terlihat
seorang ibu menganyam kerajinan bambu di depan rumahnya.
Permukiman Kampung Naga (Disparbud Jabar) |
Daya tarik Kampung Naga mampu
mendatangkan para wisatawan lokal dan juga wisatawan asing. Setiap tahunnya
jumlah wisatawan asing yang datang ke kampung ini semakin meningkat. Para turis
yang berkunjung ke kampung ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam kehidupan
tradisional dengan segenap warisan adat dan budaya pada masyarakat lokalnya.
Oleh karena itu, kampung ini seringkali dijadikan objek penelitian oleh banyak
kalangan kampus yang tertarik baik sistem pertanian mereka yang unik, bentuk
rumah tradisional mereka yang kokoh, ataupun kearifan lokal mencintai alam
penduduknya yang bersahaja. Bilamana para wisatawan datang ke kampung ini tidak
ada atraksi khusus untuk menyambut atau menghiburnya. Bilapun pertunjukkan
tersebut ada, itu bukan diperuntukkan untuk para pengunjung melainkan hanya sebagai
bentuk pertunjukkan warga lokal.
Lokasi Kampung Naga berada tidak
jauh jaraknya dari akses jalan raya yang menghubungkan antara kota Tasikmalaya
dengan kota Garut. Dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga memiliki jarak tempuh kurang
lebih 30 kilometer, sedangkan bila dari Kota Garut jarak tempuhnya kurang lebih
26 kilometer.
Batas wilayah Kampung Naga di
sebelah sebelah Selatan dibatasi oleh pesawahan penduduk, di sebelah Barat
dibatasi oleh hutan keramat yang terdapat makam leluhur masyarakat Kampung
Naga, sedangkan wilayah di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan
yang mengalirkan air bersumber dari Gunung Cikuray di Garut.
Tangga Menuju Kampung Naga (Blog Gilang Pamungkas) |
Untuk menuju ke lokasi Kampung
Naga bila dari arah jalan raya yang menghubungkan Garut dengan Tasikmalaya,
maka terlebih dahulu harus menemukan tugu Kujang raksasa. Dari tugu ini, para
pengunjung kemudian berjalan kaki menuruni tangga bertembok yang dalam bahasa
Sundanya disebut dengan “Sengked” berjumlah sebanyak 444 buah sejauh sekitar
500 meter dengan kemiringan sekitar 45 derajat hingga ke tepi sungai Ciwulan. Uniknya
konon banyak orang mencoba menghitung anak tangga ini, namun sampai sekarang
tidak diketahui jumlah pastinya karena hasil penghitungan setiap orang selalu
berbeda-beda. Banyaknya anak tangga yang ada tidak perlu membuat anda khawatir
karena di setiap titik tertentu disediakan tempat peristirahatan dengan
warung-warung sederhana bagi mereka yang tidak kuat. Selain itu jarak antarsatu
anak tangga dengan yang lainnya juga tak jauh sehingga memudahkan perjalanan.
Ketika kaki mulai menjejakkan di anak tangga pertama dari ketinggian sejauh mata memandang, terlihat hamparan
hijau di bawah sana dengan kumpulan atap segitiga berwarna abu-abu. Setelah
selesai menuruni anak tangga, perjalanan kemudian dilanjutkan melalui sebuah
jalan setapak yang menyusuri sungai Ciwulan menuju ke dalam Kampung Naga.
Merupakan sebuah perjalanan yang sangat indah karena dikelilingi keindahan
hijaunya panorama sawah.
Kampung Naga sebagai salah satu
kawasan wisata adat dengan banyak jejak sejarah masa silam tersimpan di dalamnya
yang sepatutnya untuk dipertahankan atau dilestarikan sampai kapanpun. Karena
begitu unik dan disiplinnya mereka dalam menjaga falsafah hidupnya, kampung ini
banyak dikunjungi orang dari mulai hanya sekedar ingin tahu hingga mungkin
sungguh-sungguh mau belajar sesuatu yang memang baik untuk diterapkan.
Semua penduduk Kampung Naga
beragama Islam dan mereka juga tetap sangat taat menjaga warisan budaya serta memegang
adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyang atau leluhurnya. Mereka mempercayai
bahwa dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang sama halnya mereka menghormati
para leluhur atau karuhunnya. Merekapun menganggap tabu terhadap segala sesuatu
yang datang bukan dari ajaran atau tidak dilakukan karuhun Kampung Naga. Oleh
karena itu, bilamana masyarakat Kampung Naga melakukan hal yang dianggap tabu
tersebut maka berarti dianggap melanggar adat, tidak menghormati leluhur atau karuhun,
sehingga hal itu pasti akan bisa menimbulkan malapetaka. Atas dasar aturan tersebut, sejak dulu hingga
sekarang mereka tetap mematuhi aturan-aturan lama, hidupnya tidak macam-macam,
menjaga keseimbangan alam dengan tidak menebang hutan. Filsafat kehidupan yang
mereka pertahankan ialah selalu damai dan membuang jauh-jauh perselisihan.
Kearifan lokal pada kampung ini terpelihara karena falsafah mereka adalah
mengenai alam dari generasi ke generasi. Dengan adatnya tersebut, segala intervensi
dari pihak luar bilamana hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampungnya
maka mereka akan menolaknya.
Kebutuhan hidup masyarakat
Kampung Naga diambil dari sawah, kebun maupun kolam mereka sendiri. Kearifan
lokal mereka terhadap alam paling jelas tampak dalam sistem pertanian mereka
yang memakai metode JanJul atau Januari -Juli untuk menanam dan memanen.
Menurut mereka, pada kedua bulan tersebut, secara alamiah terdapat serangga
pemakan hama wereng padi di sawah-sawah yang mengitari Kampung Naga sehingga
warga tak perlu takut padi-padinya akan dimakan oleh hama. Oleh karena itu,
pertanian mereka menggunakan pupuk organik dan tidak memakai obat kimia
pembasmi hama. Hasil panen padi bulan Juli sebagian disimpan warga dalam
lumbung desa yang terletak di bagian belakang Kampung Naga. Lumbung padi ini
merupakan sistem ketahanan pangan yang berfungsi menopang petani jika mengalami
kegagalan panen. Sistem ini mengatur kewajiban warga menyetorkan 30 persen
hasil panennya ke lumbung desa, sedangkan sisanya yakni 70 persen untuk
konsumsi pribadi. Jika hasil panen warga tidak mencukupi untuk hidup, maka
mereka sepakat untuk mengambil padi simpanannya dari lumbung. Padi yang
disimpan di lumbung ini adalah padi jenis terbaik karena melalui proses
penyimpanan yang lama sebelum dikonsumsi.
Tradisi adat yang masih lekat dan
dipertahankan yaitu pada rumah adat tradisional khas mereka berbentuk rumah
panggung berukuran 5 x 8 meter serta harus menghadap ke arah utara atau selatan
dengan memanjang kearah barat-timur. Hal ini bertujuan agar atap rumah, yang
terbuat dari ijuk, bisa terpapar sinar matahari sehingga makin memperkuat helai
demi helai ijuk. Pada bagian bawah rumah ini ditopang oleh empat buah batu
persegi panjang yang berfungsi untuk meredam rumah dari efek gerak yang
diakibatkan oleh gempa. Tak heran, saat gempa Tasikmalaya terjadi beberapa
tahun lalu, rumah-rumah tradisional ini berhasil bertahan dan utuh. Bagian depan merupakan teras atau gelodok
tempat para warga bersantai dan saling mengobrol satu sama lain. Uniknya, tiap
teras warga saling berhadapan satu sama lain jauh sebelum rumah-rumah
tradisional ini dibangun. Para warga paham pentingnya membuat struktur rumah
yang memaksimalkan proses interaksi antara pemilik rumah. Oleh karena itu, pada
saat anda berkunjung ke Kampung Naga, para ibu bersama dengan anak mereka
sedang duduk mengobrol di bagian teras rumah sembari membuat kerajinan dari
bambu dan juga rotan untuk dijual di warung-warung. Sedangkan para warga lelaki
tidak tampak sama sekali karena sedang pergi bertani. Pada bagian dalam rumah,
di bagian depan terdiri atas dapur dan ruang tamu serta pada bagian belakang
terdapat kamar berjumlah maksimal tiga buah. Dapur dibuat beratap tinggi,
karena menurut mereka asap dari kompor tradisional akan membumbung tinggi dan
keluar lewat celah-celah ijuk sehingga bisa memperkuat ijuk. Sementara lantai
dapur, berbeda dengan bagian lain rumah yaitu menggunakan bambu karena menurut
mereka bambu lebih tahan air, sehingga air yang menetes dari kegiatan masak
memasak tidak akan merusak lantai rumah. Atap rumah berbentuk segitiga yang terbuat
dari bahan daun nipah, ijuk, ataupun alang-alang karena tidak diperbolehkan
menggunakan genteng. Semua bentuk atapnya menghadap dua arah dan tidak boleh
menggunakan jure atau tiga arah. Bagian dinding rumah terbuat dari bilik yang
merupakan anyaman bambu dengan anyaman sasag karena tidak diperbolehkan menggunakan
tembok, walaupun untuk membuat rumah tembok atau gedung (gedong) mereka mampu.
Rumah boleh dikapur atau dimeni tetapi tidak diperbolehkan menggunakan cat.
Di kawasan permukiman Kampung
Naga tampak pada bagian luar kawasan yaitu areal sesudah pagar bambu, tempat
menumbuk padi, kolam-kolam ikan, ternak, hingga toilet. Mereka menetapkan bahwa
areal sesudah pagar bambu merupakan tempat yang dianggap ‘najis' atau kotor.
Oleh karena itu, toilet mereka yang terbuat dari kayu bambu dan tembok semen mengalirkan
air yang jernih dan segar. Sedangkan di areal dalam pagar bambu, tampak
rumah-rumah panggung tradisional warga dengan atap berbentuk segitiga. Dengan
gambaran kampung tersebut di atas, maka pantas Kampung Naga pernah memenangkan
penghargaan Kalpataru pada tahun 2004.
Meskipun teknologi abad 21
menunjukkan perkembangan yang hebat serta banyak orang modern yang kerap
mengunjungi Kampung Naga, namun mayarakatnya mempertahankan adat yang
diamanatkan leluhur mereka dengan cara menjalankan aturan yang ada saat
menjalani kehidupan sehari-hari dengan tenteram dan damai. Bagi mereka aturan
adat merupakan harga mati yang tidak boleh dilanggar maupun diubah atau
dicampuradukan dengan adat dan budaya luar, namun demikian mereka mengikuti
perkembangan dengan selalu memfilternya untuk menentukan mana yang dapat
diterima masyarakat Kampung Naga. Oleh karena hal itu, wajar bila di Kampung
Naga berbagai kemudahan informasi, transportasi, dan peralatan canggih tidak
mudah ditemui seperti di tempat lain. Warga di kampung ini menolak masuknya jaringan
listrik ke permukiman mereka yang memiliki 113 rumah adat, dan di antaranya
bale tempat perkumpulan dan masjid. Penolakkan tersebut dengan alasan sederhana
karena takut ada perubahan sosial bahkan ekonomi sehingga menimbulkan
kecemburuan antara yang kaya dan miskin. Mereka meyakini dan merasa khawatir
masuknya jaringan listrik ke kampung mereka akan menyebabkan terjadinya
perubahan gaya hidup, anggota masyarakat yang memiliki uang membeli peralatan
rumah tangga yang serba menggunakan listrik dan adanya rasa ingin memiliki
kebutuhan hidup yang serba canggih. Mereka menolak masuknya peralatan memasak
seperti kompor gas. Dengan penolakkannya seperti tersebut di atas, mereka tetap
mempertahankan kebiasaan memasak dengan menggunakan tungku berbahan bakar kayu
sebagai peninggalan orang terdahulunya dalam cara memasak. Jika memasak dengan
tungku ditinggalkan, bagaimana mereka dapat mengenalkan pada anak cucunya bahwa
dulu itu memasak dengan tungku. Dan ketika malam tiba, mereka masih tetap menggunakan
lampu templok dan petromaks yang merupakan alat penerang dengan menggunakan minyak
tanah. Atas kondisi tersebut, keberadaan minyak tanah merupakan barang yang
berharga bagi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Kampung Naga. Namun
walaupun demikian, mereka tidak menolak keberadaan pesawat televisi hitam putih
yang listriknya dari aki atau bukan dari jaringan listrik. Sebagian warga telah
memiliki televisi untuk sekadar mengetahui informasi dari luar.
Sedangkan mengenai pendidikan,
warga Kampung Naga diizinkan menempuhnya hingga pendidikan tinggi karena dianggap
penting untuk kemajuan bangsa Indonesia. Itu pula sebabnya, anak-anak sekolah
dari luar diizinkan menginap. Hal
tersebut dilakukan bukan hanya sebatas untuk mengenalkan kegiatan siang dan
malam di Kampung Naga saja, tetapi juga untuk memperkenalkan budaya bangsa
kita, sebelum budaya luar lebih dikenal oleh anak-anak Kampung Naga.
Untuk mengetahui lebih jelas
terhadap berbagai keunikan Kampung Naga ini, alangkah baiknya Sahabat langsung
mengunjungi kampung ini.
Adapun Transportasi Menuju
Kampung Naga diantaranya adalah sebagai berikut :
Bagi Sahabat yang menggunakan
kendaraan umum :
Bagi Sahabat yang dari arah
Jakarta atau Bandung dan hendak berkunjung ke kampung Naga menggunakan
kendaraan umum akan dianggap lebih mudah bila melewati rute Garut walaupun
sebenarnya Kampung Naga berada di Tasikmalaya.
Untuk Sahabat di Jakarta : Dari
Terminal Bus Kampung Rambutan, Sahabat bisa menggunakan bus dengan jurusan
Kampung Rambutan-Garut-Singaparna seperti Diana Prima, Karunia Bakti, Saluyu
Prima, Sonny Prima dan sebagainya. Sahabat dapat meminta bantuan kepada Supir
atau kondektur agar diturunkan di Lokasi Kampung Naga.
Untuk Sahabat dari Bandung : Dari
Terminal Bus Cicaheum, Sahabat bisa menggunakan bus dengan jurusan
Bandung-Garut-Tasikmalaya/Singaparna. Dengan menggunakan bus ini Sahabat bisa
turun Lokasi Kampung Naga.
Dan bagi Sahabat yang menggunakan
kendaraan pribadi :
Berangkat dari Jakarta : Dari Tol
Jakarta-Cikampek ==> km. 67 ==> Tol Purbaleunyi/Cipularang ==> Gerbang
Tol Cileunyi ==> Nagreg ==> Garut Kota ==> Cilawu ==> Lokasi
Kampung Naga.
Berangkat dari Bandung : Dari
dalam Kota Bandung ==> Cileunyi ==> Rancaekek ==> Nagreg ==> Leles
dan Garut Kota ==> Cilawu ==> Lokasi Kampung Naga.
Berangkat dari Jawa Tengah
melalui Cirebon : ke
Cirebon ==> Cilimus ==> ke Kuningan ==> Waduk Darma ==> Cikijing ==>
Kawali ==> Ciamis Kota ==> Sindang Kasih ==> Tasikmalaya Kota ==>
Mangkubumi ==> Singaparna ==> Mangunreja ==> Salawu ==> Kampung
Naga.