Waktu
: 05/11/2015 22:41:50
Sumber
: Marwan Jafar
Surabaya
- Akademisi diharapkan bisa berpartisipasi aktif dalam perubahan
paradigma pembangunan desa yang bergeser dari corak sentralistik dan
menjadi pembangunan yang bersifat partisipatoris. Para akademisi harus
bersatu padu turun tangan mendampingi masyarakat desa agar bisa
mewujudkan cita-cita Desa Membangun Indonesia.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengakui pembangunan partisipatoris menjadi semangat yang menjiwai reformasi dan dipertegas dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
"UU Desa berupaya mengangkat Desa pada posisi yang semestinya. Secara konstitusional UU tersebut telah mengukuhkan pengakuan dan penghormatan serta pemberian kewenangan berdasarkan asal-usul desa dan kewenangan skala lokal, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2," ujar Menteri Marwan saat menghadiri acara diskusi dengan tema 'Peran Akademisi Dalam Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal dan Kawasan Transmigrasi' di Kampus UIN Sunan Ampel, Surabaya, Kamis (5/10).
Dengan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, Desa akan memegang peranan strategis dalam mendukung pembangunan nasional. "Selama ini kondisi desa memang sangat ironis. Bisa dilihat desa sebagai kawasan produsen pangan, saat ini desa justru mengalami tren kekurangan bahan pangan. Tahun 2013 sebanyak 47.02 juta jiwa yang rawan pangan tersebar di 349 kabupaten di Indonesia yang secara tipologi masuk dalam cluster kabupaten Tertinggal, Terluar, dan Terpencil," tandasnya.
Disisi lain, fenomena pergeseran atau peralihan pola konsumsi masyarakat perdesaan yang sangat cepat bahkan lebih tinggi dari perkotaan terhadap bahan-bahan yang berasal dari gandum atau tepung terigu. Hingga tahun 2014, konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan dan perdesaan cenderung meningkat.
"Konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan bertumbuh 7,10%, sedangkan di perdesaan bertumbuh 9,67% per tahun. Sementara itu, konsumsi per kapita mie instan di perkotaan bertumbuh sebesar 12,11% per tahun, sedangkan di perdesaan bertumbuh jauh lebih tinggi sebesar 16,99% per tahun," ujarnya.
Fenomena ini, menurut Marwan dinilai sangat memprihatinkan, mengingat desa merupakan kawasan produsen pangan pokok nasional (beras, jagung, ubi jalar, dan lain-lain). "Seolah-olah desa harus menanggung kebutuhan pangan masyarakat perkotaan, namun disisi lain harus memenuhi kebutuhan pokok untuk pangannya sendiri," paparnya.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam membangun desa, Marwan mengajak seluruh pemangku kepentingan termasuk civitas akademik untuk mewujudkan cita-cita desa membangun Indonesia.
Berdasarkan data Kemenristek Dikti tahun 2015, jumlah dosen mencapai 160.000 orang dan jumlah mahasiswa yang aktif mencapai 5,4 juta orang. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, peran/kontribusi akademisi merupakan salah satu unsur penting dalam percepatan pembangunan desa di Indonesia. "Sudah saatnya akademisi berbondong-bondong untuk turun tangan membangun Desa. GERAKAN TURUN TANGAN membangun desa," imbuhnya.
Selain itu, imbuh Marwan, penelitian yang dilakukan oleh para civitas akademika harusnya tidak hanya melahirkan ilmu untuk ilmu (science for science) saja tetapi penelitian harus dapat diterapkan secara langsung untuk kesejahteraan masyarakat.
"Berdasakan data Kementerian Ristek bahwa tahun 2013 jumlah publikasi di Indonesia mencapai 171.037 publikasi selama satu tahun. Jumlah publikasi ini tidak sedikit jika betul-betul memiliki inovasi sehingga dapat diterapkan dan dipatenkan untuk kesejahteraan masyarakat," tutupnya.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengakui pembangunan partisipatoris menjadi semangat yang menjiwai reformasi dan dipertegas dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
"UU Desa berupaya mengangkat Desa pada posisi yang semestinya. Secara konstitusional UU tersebut telah mengukuhkan pengakuan dan penghormatan serta pemberian kewenangan berdasarkan asal-usul desa dan kewenangan skala lokal, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2," ujar Menteri Marwan saat menghadiri acara diskusi dengan tema 'Peran Akademisi Dalam Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal dan Kawasan Transmigrasi' di Kampus UIN Sunan Ampel, Surabaya, Kamis (5/10).
Dengan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, Desa akan memegang peranan strategis dalam mendukung pembangunan nasional. "Selama ini kondisi desa memang sangat ironis. Bisa dilihat desa sebagai kawasan produsen pangan, saat ini desa justru mengalami tren kekurangan bahan pangan. Tahun 2013 sebanyak 47.02 juta jiwa yang rawan pangan tersebar di 349 kabupaten di Indonesia yang secara tipologi masuk dalam cluster kabupaten Tertinggal, Terluar, dan Terpencil," tandasnya.
Disisi lain, fenomena pergeseran atau peralihan pola konsumsi masyarakat perdesaan yang sangat cepat bahkan lebih tinggi dari perkotaan terhadap bahan-bahan yang berasal dari gandum atau tepung terigu. Hingga tahun 2014, konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan dan perdesaan cenderung meningkat.
"Konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan bertumbuh 7,10%, sedangkan di perdesaan bertumbuh 9,67% per tahun. Sementara itu, konsumsi per kapita mie instan di perkotaan bertumbuh sebesar 12,11% per tahun, sedangkan di perdesaan bertumbuh jauh lebih tinggi sebesar 16,99% per tahun," ujarnya.
Fenomena ini, menurut Marwan dinilai sangat memprihatinkan, mengingat desa merupakan kawasan produsen pangan pokok nasional (beras, jagung, ubi jalar, dan lain-lain). "Seolah-olah desa harus menanggung kebutuhan pangan masyarakat perkotaan, namun disisi lain harus memenuhi kebutuhan pokok untuk pangannya sendiri," paparnya.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam membangun desa, Marwan mengajak seluruh pemangku kepentingan termasuk civitas akademik untuk mewujudkan cita-cita desa membangun Indonesia.
Berdasarkan data Kemenristek Dikti tahun 2015, jumlah dosen mencapai 160.000 orang dan jumlah mahasiswa yang aktif mencapai 5,4 juta orang. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, peran/kontribusi akademisi merupakan salah satu unsur penting dalam percepatan pembangunan desa di Indonesia. "Sudah saatnya akademisi berbondong-bondong untuk turun tangan membangun Desa. GERAKAN TURUN TANGAN membangun desa," imbuhnya.
Selain itu, imbuh Marwan, penelitian yang dilakukan oleh para civitas akademika harusnya tidak hanya melahirkan ilmu untuk ilmu (science for science) saja tetapi penelitian harus dapat diterapkan secara langsung untuk kesejahteraan masyarakat.
"Berdasakan data Kementerian Ristek bahwa tahun 2013 jumlah publikasi di Indonesia mencapai 171.037 publikasi selama satu tahun. Jumlah publikasi ini tidak sedikit jika betul-betul memiliki inovasi sehingga dapat diterapkan dan dipatenkan untuk kesejahteraan masyarakat," tutupnya.
Sumber : www.kemendesa.go.id, diakses tanggal 06 Nopember 2015, jam 10.54 WIB
No comments :
Post a Comment